Sabtu, 28 Maret 2009

TRANSISI RUANG SOSIAL PEREMPUAN : DOMESTIK KE PUBLIK (Perempuan Di Rumah-(Ber)Tangga)

PENDAHULUAN
Isu gender dan feminisme (gerakan memperjuangkan kesetaraan perempuan dan laki-laki dengan menekankan perempuan sebagai subjek) seringkali dianggap sebagai wacana yang datang dari barat dan cenderung dianggap elitis. Namun, kenyataannya tidaklah selalu demikian. Dalam bukunya, Irwan Abdullah seorang dosen Antropologi Universitas Gajah Mada membuktikan bahwa gerakan feminis tersebut ada pada strata masyarakat terendah dan dalam bentuk yang paling sederhana sekalipun, yaitu kalangan perempuan bakul (pedagang) di desa Jatinom, Klaten, Jawa Tengah. Dimana penulis menggambarkan upaya perempuan yang bergerak dari sektor domestik ke sektor publik dengan berperan aktif dalam kegiatan perekonomian.
Namun dalam makalah ini tidak akan membahas mengenai upaya perempuan dalam kegiatan perekonomian yang berada diluar rumah, seperti yang dijelaskan oleh Irwan Abdullah dalam bukunya. Melainkan akan membahas upaya perempuan yang bergerak dari sektor domestik ke sektor publik di dalam “rumah”. Dimana “rumah” dimaksudkan sebagai tempat pertemuan antara laki-laki dan perempuan (makna dari sajak “Rumah”-nya Darmanto Yt.), yang didalamnya terkandung komponen-komponen semantis yang saling beroposisi dengan sebuah upaya diferensiasi gender (maskulin/feminim) yang, tentu saja, bersifat hirearki.
Konsep “rumah”, setidak-tidaknya di dalam sajak Darmanto Yt., tampak terikat pada konteksnya, meskipun masih dapat dikatakan bahwa struktur biner seperti ini niscaya dapat beroperasi dimana saja dan kapan saja. Selain diferensiasi gender, di dalam “rumah” terdapat pembedaan lain dengan tolak ukur generasi atau usia, yakni antara orang tua (ayah/ibu) dengan anak-anaknya. Namun, dalam pembahasan makalah ini, perbedaan yang pertama sangat relevan karena akan digunakan sebagai suatu struktur yang mendasari relasi-relasi di dalam rumah(-tangga) dan keluarga sebagai suatu kesatuan sosial.

PEMBAHASAN
Keluarga
Pertama, “keluarga” merupakan suatu yang konkret dan sangat sehari-hari, bukan suatu kategori sosiologis yang abstrak dan berjarak. Oleh karena itu, sangat diperlukan semacam kehati-hatian dalam merumuskan “keluarga”, untuk tidak menganggapnya seakan-akan sebuah tipe tunggal yang terpilih. Dimana, di dalam suatu budaya nasional, varian-variannya tidaklah sedikit. Bahkan, secara etnis, “keluarga” bersifat heterogen; dan di dalam masing-masing (sub-)budaya itu sendiri terdapat pula determinan perbedaan lainnya yang tidak kalah penting, misalnya saja sosio-ekonomis. Akan tetapi, diluar varian tersebut, dapat digagas pula bahwa sebuah keluarga biasanya tersusun dari orang-orang yang berhubungan darah dan/atau berkawin, meskipun tidak selalu. Saling berbagi atap(-rumah), meja makan, makanan, uang, bahkan emosi, dapat menjadi faktor untuk mendefenisiskan sekelompok orang sebagai suatu keluarga.
Kedua, adalah berlimpahnya konsep teoritik yang dianggap (tidak) mampu menjelaskan atau mengkritik peran keluarga di tengah-tengah masyarakat. Orientasi yang mungkin paling dominan dipegang oleh pandangan fungsional yang memperlakukan keluarga sebagai salah satu komponen terpenting dari sistem sosial, yang turut mendukung atau mempertahankan keseimbangan di tengah masyarakat. Dalam hal ini, fungsi utama keluarga adalah untuk menjadi model bagi relasi-relasi kekuasaan di dalam masyarakat yang lebih luas. Perspektif lainnya adalah perspektif Marxis yang lebih melihat keluarga melalui fungsinya untuk melayani kepentingan pemegang kekuasaan ekonomis di dalam masyarakat. Di sini keluarga dipandang sebagai sistem yang memproduksi struktur dominasi yang ada dalam dunia ekonomi.
Akhirnya, dengan dibangkitkannya persoalan patriarki oleh para feminis, persepektif-perspektif tadi memperoleh semacam suplemen. Banyak feminis yang menganggap patriarki sebagai masalah yang secara serius dapat diangkat untuk menjelaskan kondisi-kondisi kehidupan di antara kedua jenis kelamin di dalam keluarga. Pada dasarnya, kelompok feminis ini memandang keluarga sebagai suatu institusi yang melalui sistem patriarkalnya, menindas perempuan dengan cara-cara sosialisasi yang terbedakan menurut gender.
Namun, di balik segala kemajemukan perspektif teori tersebut, yang tetap tertanam adalah sebuah citra konvensional yang secara spontan biasanya langsung membayang ketika istilah “keluarga” diucapkan, yakni keluarga monogami dengan sepasang orang tua heteroseksual bersama dengan anak-anaknya. Inilah yang pada dasarnya di dalam banyak literatur antropologi/sosiologi disebut sebagai keluarga inti atau konjugal.

Famulus/Kulawarga
Di dalam bahasa Latin, familia atau famulus memang tidak saja bermakna “keluarga;rumah-tangga”, tetapi juga servant; atau familia/famulus dapat berarti “semua yang berada di bawah kekuasaan seorang tuan(-rumah), penguasa, atau majikan”. Sementara itu, pada masyarakat Jawa mengenalnya sebagai kulawarga yang bermakna “saudara” atau “warga sedarah/saudara”. Konsep yang tampak egaliter ini bisa saja berubah seratus delapan puluh derajat apabila diplesetkan sedikit menjadi kawulawarga yang sama halnya dengan familia/famulus, yang bersifat hirearki.
Yang lebih mendekati pengertian “keluarga inti” adalah somah. Namun demikian, somah, sebagai kelompok kekerabatan yang pokok di dalam masyarakat Jawa, sering pula dianggap sebagai rumah tangga. Pada umumnya, “sebuah rumah tangga” adalah sama dengan “sekelompok orang yang tinggal di dalam sebuah rumah”, dimana dalam satu rumah dapat ditinggali oleh dua rumah tangga atau lebih. Yang menjadi ciri distingtifnya adalah bahwa satu rumah tangga, satu somah, lebih didefenisikan oleh apakah sekelompok orang makan dari satu dapur atau tidak. Sebab rumah tangga merupakan sekelompok orang yang tinggal bersama, saling berbagi dapur dan makanan.
Rumah tangga, sebagai sebuah metafora, barangkali bisa lebih mengkonkretkan “keluarga” sebagai semata-mata relasi. Konotasi rumah tangga memang lebih bersifat keruangan (spasial), dimana di dalamnya terdapat jenjang-jenjang yang hirearkis. Ruang(-ruang) domestik, terutama ruang makan dan dapur, yang merupakan basis bagi keberadaan rumah tangga, berada di bawah kendali perempuan.

Ruang(-ruang) Domestik
Ruang(-ruang) domestik terutama didefenisikan menurut fungsinya. Oleh karena itu dalam pengklasifikasiannya menurut fungsinya ruang-ruang di dalam rumah terbagi atas lima bagian seperti, (1) ruang untuk duduk(-duduk), seperti ruang tamu, ruang duduk, ruang keluarga, serambi, teras, dan balkon; (2) ruang untuk tidur, yang terbagi atas tiga subtipe yang terstrasifikasi, yakni kamar tidur utama, kamar tidur anak, kamar tidur pembantu; (3) ruang untuk makan/masak, seperti dapur dan ruang makan; (4) ruang untuk bersih-bersih diri; (5) ruang lain-lain.
Adapun semacam asumsi bahwa ruang(-ruang) domestik lebih cenderung diporsikan sebagai wilayah perempuan. Dengan mudah asumsi ini mendapat pembenaran atau sanggahan, tergantung pada keperluannya. Sebagian ruang tersebut memiliki konotasi gender yang kuat, misalnya dapur dan garasi. Dapur merupakan ruangan untuk mengolah dan mempersiapkan makanan, yang sangat kuat asosiasinya dengan aktivitas feminim; sementara garasi merupakan ruangan untuk menyimpan kendaraan, yang sangat kuat asosiasinya dengan aktivitas maskulin. Dengan demikian, selain didefenisikan melalui fungsinya, ruang(-ruang) domestik pun cenderung diasosiasikan dengan anggota keluarga tertentu, khususnya ibu dan ayah.
Ruang yang sepintas tampak netral gender adalah ruang untuk duduk(-duduk). Namun, terdapat ruang-ruang yang memiliki peran penting dalam perbincangan gender yakni ruang tamu. Menurut Passikoff dan Holman, ruang tamu merupakan ruangan khusus untuk ayah. Selain sebagai tempat untuk menerima tamu (yang datang dari luar rumah), ruang tamu juga digunakan ayah untuk melakukan aktivitasnya baik itu membaca koran, atapun memberikan nasehat kepada anaknya. Dibandingkan dengan ruang-ruang domestik yang lain, ruang tamulah yang berhubungan paling dekat dengan ruang publik sehingga tidak mengherankan apabila ayah lebih banyak mengisi aktivitasnya di ruang tersebut. Kehidupan di dalam rumah dan kehidupan jalanan, sebagai dua dunia yang terpisah, dihubungkan oleh sebuah ruang “ambang” dengan ayah sebagai figur perantaranya.
Meskipun ruang untuk duduk(-duduk) merupakan ruang yang paling banyak variasi dan namanya, ruang tersebut adalah paling tidak esensial dalam hubungannya dengan bagaimana anggota keluarga dapat survive secara fisik. Bandingkan, misalnya, dengan ruang makan atau dapur yang apabila dilihat dari sudut survival, pasti lebih utama. Kedua ruang yang disebut terakhir ini memiliki konotasi gender yang telah sangat baku. Khususnya dapur, ruang ini merupakan ruang bagi ibu yang menjadi lokasi untuk menyediakan makanan.

Representasi
Ibu dan keluarga merupakan sasaran empuk bagi iklan-iklan barang konsumsi tertentu. Mulai dari produk-produk perawatan bayi, makanan, sabun, obat-obatan, vitamin, sampai dengan mobil. Dengan berubahnya keluarga dari semata-mata sebuah unit produksi menjadi unit konsumsi, iklan-iklan semakin leluasa mereka-reka citra tentang keluarga ideal demi kepentingannya sendiri. Dan citra ini tidak beranjak dari stereotip kultural mengenai peran ibu dan ayah yang konvensional.
Di dalam representasi iklan nyaris tidak terdapat satu keluarga tanpa kehadiran seorang ibu. Iklan obat-obatan untuk anak menampilkan ibu dan anaknya dengan latar kamar tidur. Iklan sabun dimana di tampilkan ibu dengan anaknya dengan latar kamar mandi. Iklan bumbu dapur dan minyak goreng merepresentasikan seorang ibu sedang menyiapkan makanan di meja makan atau memasak di dapur. Hal terakhir ini nampak jelas ibulah spesialisnya: makanan dikaitkan dengan peran ibu di dalam keluarga. Bahkan, menurut Siegel, menyantap makanan bukan hanya mengindikasikan ketidakberdayaan dalam menahan nafsu, tetapi juga sekaligus mengindikasikan bahwa ibu berperan sebagai sumber dari nafsu dan kenikmatan karena produk tersebut berasal darinya.
Selain ibu yang memiliki peran dalam rumah tangga, ayah juga memiliki peran yakni sebagai wakil dari luar rumah; dia merupakan wakil tunggal keluarga terhadap dunia sosial di luarnya. Di dalam representasi iklan, ayah baru akan muncul ketika latarnya adalah ruang tamu atau teras, yang terlihat sedang membaca, bersantai, atau baru pulan dari kantor.
Ayah secara fisik memang boleh mangkir dari dalam rumah. Akan tetapi, sesungguhnya hal ini tidak berarti bahwa ayah sama sekali tidak hadir di dalam ruang-ruang kelurga tersebut, malahan sebaliknya, ayah justru bisa berada di mana-mana. Bila ayah secara badaniah tidak tampak dalam potret keluarga dalam struktur rumah tangga, peran ayah lebih cenderung sebagai seorang pemberi tugas dan ibu sebagai pelaksana.

Suplemen
Selama ini telah terbentuk semacam opini bahwa perempuan lebih berperan dominan di dalam rumah tangga. Kiprah perempuan di sektor domestik sudah sangat dimaklumi karena kata orang, “Memang sudah demikian dititahkan. “Ungkapan klisenya: perempuan adalah “ratu rumah tangga”. Maka dari itu, tidak mengherankan jika ada pihak-pihak tertentu yang kemudian berkesimpulan bahwa perempuan, sebagai istri atau ibu, merupakan pusat keluarga, pusat rumah tangga. Masyarakat dibayangkan sebagai struktur yang tersusun oleh unsur-unsur yang berupa keluarga-keluarga. Dengan kata lain, keluarga merupakan satuan-satuan sosial yang lebih kecil yang membangun dunia sosial. Sementara itu, rumah tangga, yakni keluarga beserta dengan konteks internalnya, seringkali didefenisikan keberadaannya via dapur. Dimana dapur merupakan tempat bercokolnya seorang perempuan sebagai pusatnya.
(Tulisan Ini diReview dr tulisan____dalam Buku Sangkan Paran Gender, dimana Irwan Abdullah sebagai editor. Reviewer: Sandry, Mimin, Ikbal, Syam, Yasser dan Pangeran)