Senin, 16 Februari 2009

Wanita dan Akar Kultural Ketimpangan Gender

Perempuan dan laki-laki selayaknya mempunyai kedudukan yang seimbang, namun hal tersebut tidak terlihat pada artikel ini. Uraian yang ditampilkan menceritakan tentang sejumlah kasus pekerja perempuan yang kadang-kadang mendapat berbagai bentuk penindasan. Sayangnya yang menjadi pelaku dari penindasan tersebut beberapa diantaranya adalah laki-laki. Padahal keinginan mereka untuk bekerja merupakan bentuk bantuan nyata untuk membantu keluarga. Dimana dalam keluarga umumnya yang lazim untuk mencari nafkah dan pemimpin dalam keluarga tersebut adalah laki-laki. Sungguh menjadi suatu hal yang sangat menyedihkan, sebab secara tidak langsung kaum yang hendak dibantu justru berbalik mencelakai. Tidak hanya itu, perempuan juga diserahi tanggung jawab yang tidak mudah. Sementara laki-laki yang memiliki kewajiban untuk mencari nafkah merasa tidak ada kewajiban lain yang harus dipikirkan. Perasaan seperti itu semakin kuat karena seolah mendapat dukungan penuh dari lingkungan sosial tempat dibesarkannya dan lingkungan-lingkungan lain yang ada disekitarnya. Semua itu turut berperan dalam perkembangannya dan pada akhirnya menjadi semacam aturan tetapi tidak dalam bentuk yang tertulis namun mendapat persetujuan dari masyarakat dalam lingkungan sosial tersebut.
Posisi perempuan sungguh menyulitkan dan serba salah serta berbagai hal mengenai ketidakadilan yang dialami oleh perempuan dalam kehidupan hampir disemua bidang dipaparkan dengan seksama dalam tulisan Susi. Segala bentuk ketidakadilan tersebut tergambar mulai dari ruang lingkup sosial dalam hal ini pekerjaan sampai pada posisi perempuan dalam sebuah kebudayaan yang berlaku pada masyarakat tertentu. Sedangkan laki-laki dengan segala bentuk kebijaksanaan dan kekuasaan yang diberikan kepadanya kadang kala justru mempergunakannya dengan tidak sebagaimana mestinya. Sebenarnya marginalisasi yang terjadi pada nasib perempuan tidak hanya sampai disitu, tetapi masih banyak yang lainnya. Namun tidak dapat dipungkiri jika kedudukan perempuan yang selalu menjadi subordinat tampak sangat mencolok pada kedua bidang yang diuraikan dalam tulisan tersebut. Apalagi semua contoh kasus yang dipaparkan oleh penulisnya memang marak terjadi dan sering dipublikasikan oleh media massa. Kemudian dari beberapa contoh kasus yang dituliskan, perempuan seringkali mendapat penganiayaan baik dalam bentuk kekerasan fisik maupun pelecehan seksual bahkan termasuk dalam aturan dan nilai yang berlaku dimana perempuan harus taat pada norma sosial yang kesannnya sangat mengikat.
Menurut pendapat saya, memang sangat ironis ketika insan yang berlabel perempuan harus mengalami ketidakadilan dalam setiap kegiatan. Padahal jika dibandingkan dengan kenyataan yang banyak terlihat dewasa ini, tidak sedikit jumlah perempuan yang memiliki kreativitas. Namun tetap saja nasib perempuan tidak bisa mengalami perubahan yang signifikan. Emansipasi wanita pernah diteriakkan beberapa tahun lalu bahwa perempuan berhak mendapat kesempatan yang sama dengan laki-laki dalam hal pekerjaan. Sehingga pada saat itu ruang lingkup perempuan diharapkan tidak lagi hanya berada di wilayah domestik tetapi juga dapat berkembang ke wilayah publik. Meskipun telah banyak perempuan yang merambah dunia kerja tetapi hal tersebut hanyalah menambah beban perempuan yang sudah cukup banyak karena memiliki kewajiban baru. Seperti yang dituliskan Susi bahwa perempuan dikalangan kelas menengah ke bawah, bekerja sambil mengurus rumah tangga sudah merupakan hal yang wajar sejak lama. Namun tidak demikian bagi kalangan kelas menengah ke atas, mereka justru dapat merasakan dunia publik. Hal inilah yang dianggap sebagai kewajiban baru dan harus ditanggung oleh perempuan. Ketidakadilan yang sekali lagi menimpa perempuan dengan peran ganda adalah segala bentuk kekurangan dalam rumah tangga dan penyimpangan yang terjadi pada anak dianggap sebagai kesalahan yang akan ditujukan pada perempuan.
Tulisan yang dibuat oleh Susi merupakan salah satu dari sekian banyak tulisan yang membahas mengenai ketimpangan yang dirasakan perempuan dan terjadi dalam kehidupan sosial budaya. Artikel tersebut benar-benar membahas mengenai ketidakseimbangan antara perempuan dan laki-laki. Melalui artikel tersebut pula kita dapat melihat perempuan yang begitu banyak memiliki sumbangsih dalam kehidupan rumah tangga justru sering mendapat perlakuan yang tidak sepantasnya. Senantiasa menjadi pengikut laki-laki dan berbagai aturan, norma dan nilai-nilai dalam budaya yang berlaku pada perempuan sudah sangat kental dan mendarah daging dalam kehidupan sosial budaya masyarakat. Sehingga banyaknya kompetensi yang dimiliki dan kreativitas yang berusaha dilahirkan oleh perempuan pada akhirnya tidak akan membawa banyak perubahan terhadap kedudukannya di wilayah publik.

(Wanita dan Akar Kultural Ketimpangan Gender merupakan judul dari goresan tangan yang dibuat oleh Susi Eja Yuarsi. Dimana tulisan Susi tersebut terdapat dalam buku Sangkan Paran Gender (Irwan Abdullah:editor). Tulisan ini sendiri merupakan tugas review mata kuliah Gender dan Antropologi pada bulan Desember 2008. Reviewer: Yulidar Nalurita)