Kamis, 12 Februari 2009

Pengetahuan, Perilaku Seksual Suku Marind-Anim A. E. Dumatubun

Review

Sub disiplin Antropologi Kesehatan boleh dikatakan relatif muda jika dibandingkan dengan usia disiplin Antropologi itu sendiri, namun sejak munculnya spesialisme ini hingga sekarang telah dikembangkan sejumlah model analisis untuk mengkaji fenomena kesehatan. Sejak awal tujuan utama dari sub disiplin ini ialah mengembangkan pemahaman fenomena kesehatan dalam rangka kebudayaan tertentu, artinya apa makna serta fungsi kesehatan sebagai salah satu aspek budaya yang membentuk suatu kebudayaan. Hal ini lah yang mendorong penulis untuk melakukan penelitian dan mendeskripsikannya dalam sebuah laporan, dengan mengambil salah satu suku bangsa di Papua yakni suku Marind-Anim sebagai lokasi penelitian.
Meskipun dimaksudkan sebagai sebuah laporan, akan tetapi penulis cukup detail dalam menguraikan bagaimana berbagai pendekatan, metode, dan konsep-konsep antropologi yang pernah digunakan untuk menganalisa dan memahami makna serta fungsi kesehatan sebagai salah satu aspek budaya yang membentuk kebudayaan di wilayah ini. Tulisan A. E. Dumatubun secara sistematis merunut mulai dari penjelasan konsep, kemudian penjelasan model-model analisis yang digunakan untuk mengkaji fenomena kesehatan khususnya seksualitas serta, pemaparan hasil karya para ahli antropologi serta, penjelasan mengenai pengetahuan dan perilaku seksualitas pada suku Marind-Anim.
Pemaparan dalam Point B laporan ini, misalnya, konsep-konsep dasar serta model-model analisis diulas. Konsep seksualitas berdasarkan analisis Scholar, dan studi oleh Clellan S. Ford and Frank A. Beach (1951) dalam Pattern of Sexual Behavior, dimana suatu variasi yang luas dalam bentuk-bentuk seksual terdapat dalam budaya. Konsep lainnya yang digunakan ialah Ideasionalisme (Keesing, 1981; Sathe, 1985). A. E Dumatubun dalam point ini tidak hanya menjelaskan konsep dasar namun juga menjelaskan model analisis, seperti pendekatan kebudayaan dan pendekatan struktural-fungsional.
Gambaran mengenai kasus-kasus seksualitas di Papua dibahas pada point C. Pada bagian ini dibahas hasil karya dari antropolog yang membuat kajian tentang kesehatan khususnya seksualitas. Kajian mereka terutama terpusat pada masyarakat pedesaan, seperti karya Williams, Francis E. (1924) mengenai kaitan antara persetubuhan sebelum nikah dengan upacara ritual pada masyarakat Purari, Landtman, Gunnar (1927) mengenai gambaran hubungan seks lebih banyak mengarah pada aktivitas kebudayaan pada orang Kiwai. Persetubuhan dengan siapa saja untuk menghasilkan cairan seks (sperma) guna meningkatkan kesuburan, serta upacara persetubuhan yang dilakukan oleh pasangan suami istri yang tua dengan tujuan untuk menghasilkan cairan seks guna perluasan spiritual. Selain kedua karya tersebut, A. E. Dumatubun juga memparkarkan karya-karya lain seperti karya dari Jan van Ball (1966), Laurent M. Serpenti (1968) serta beberapa tokoh Antropolog. Pemaparan karya-karya tersebut, pada intinya mengungkapkan bahwa perilaku seksual di Papua, khususnya pada suku-suku, selalu berkaitan dan juga membentuk kebudayaan. Dimana perilaku seksualitas tersebut jika dilihat dengan menggunakan kacamata medis, hal tersebut adalah salah namun jika menggunakan frame Antropologi yang didalamnya terdapat konsep relativisme kebudayaan, dengan menganggap bahwa suatu kebudayaan tidak dapat dinilai dengan menggunakan kebudayaan lain. Meskipun kebudayaan tersebut dianggap salah.
Tentang perilaku seksualitas pada suku Marind-Anim dipaparkan dalam Bab IV. Pada bagian ini penulis menjelaskan pola perilaku seksual orang Marind-Anim pada ritual-ritual tertentu, seperti pada ritual Mite Ndiwa, dimanana inti dari ritual ini adalah masa inisiasi dari remaja menjadi masyarakat, membawa keseimbangan serta mengadakan hubungan dengan leluhur. Upacara Bambu Pemali (Barawa), Upacara Subawakum, Upacara Kambara, Upacara Ezam Uzum, Upacara Perkawinan. Upacara-upacara tersebut, hampir memiliki kesamaan karena alat ritual yang paling inti ialah cairan seks (sperma). Namun, jika dilihat dari segi medis, penggunaan serta cara untuk memperoleh sperma dalam upacara-upacara tersebut rentan dengan penyakit, terutama penyakit HIV/AIDS. Karena penggunaan yang salah, yakni terdapat upacara ritual dimana seorang pria bebas melakukan hubungan seksual dan cairan sperma yang dikeluarkan kemudian diminum. Selain penggunaan yang salah, terdapat cara-cara untuk memperoleh sperma yang keliru untuk digunakan dalam melaksanakan upacara-upacara tertentu. Seperti upacara Ezam Ezum, dimana kepala adat untuk memperoleh sperma harus melakukan hubungan dengan ibu-ibu janda sebanyak tiga sampai lima kali.

(Review ini merupakan tugas mata kuliah Etnografi Indonesia pada tanggal 19 Mei 2008 oleh Sandry Marrung, Mahasiswa Strata Satu Antropologi Sosial FISIP UH)

1 komentar:

  1. Makasih bget,,tulisan ini bener2 mmbantu sy mnyelesaikan tgs Etnografi Papuaq..

    BalasHapus