Sabtu, 28 Maret 2009

TRANSISI RUANG SOSIAL PEREMPUAN : DOMESTIK KE PUBLIK (Perempuan Di Rumah-(Ber)Tangga)

PENDAHULUAN
Isu gender dan feminisme (gerakan memperjuangkan kesetaraan perempuan dan laki-laki dengan menekankan perempuan sebagai subjek) seringkali dianggap sebagai wacana yang datang dari barat dan cenderung dianggap elitis. Namun, kenyataannya tidaklah selalu demikian. Dalam bukunya, Irwan Abdullah seorang dosen Antropologi Universitas Gajah Mada membuktikan bahwa gerakan feminis tersebut ada pada strata masyarakat terendah dan dalam bentuk yang paling sederhana sekalipun, yaitu kalangan perempuan bakul (pedagang) di desa Jatinom, Klaten, Jawa Tengah. Dimana penulis menggambarkan upaya perempuan yang bergerak dari sektor domestik ke sektor publik dengan berperan aktif dalam kegiatan perekonomian.
Namun dalam makalah ini tidak akan membahas mengenai upaya perempuan dalam kegiatan perekonomian yang berada diluar rumah, seperti yang dijelaskan oleh Irwan Abdullah dalam bukunya. Melainkan akan membahas upaya perempuan yang bergerak dari sektor domestik ke sektor publik di dalam “rumah”. Dimana “rumah” dimaksudkan sebagai tempat pertemuan antara laki-laki dan perempuan (makna dari sajak “Rumah”-nya Darmanto Yt.), yang didalamnya terkandung komponen-komponen semantis yang saling beroposisi dengan sebuah upaya diferensiasi gender (maskulin/feminim) yang, tentu saja, bersifat hirearki.
Konsep “rumah”, setidak-tidaknya di dalam sajak Darmanto Yt., tampak terikat pada konteksnya, meskipun masih dapat dikatakan bahwa struktur biner seperti ini niscaya dapat beroperasi dimana saja dan kapan saja. Selain diferensiasi gender, di dalam “rumah” terdapat pembedaan lain dengan tolak ukur generasi atau usia, yakni antara orang tua (ayah/ibu) dengan anak-anaknya. Namun, dalam pembahasan makalah ini, perbedaan yang pertama sangat relevan karena akan digunakan sebagai suatu struktur yang mendasari relasi-relasi di dalam rumah(-tangga) dan keluarga sebagai suatu kesatuan sosial.

PEMBAHASAN
Keluarga
Pertama, “keluarga” merupakan suatu yang konkret dan sangat sehari-hari, bukan suatu kategori sosiologis yang abstrak dan berjarak. Oleh karena itu, sangat diperlukan semacam kehati-hatian dalam merumuskan “keluarga”, untuk tidak menganggapnya seakan-akan sebuah tipe tunggal yang terpilih. Dimana, di dalam suatu budaya nasional, varian-variannya tidaklah sedikit. Bahkan, secara etnis, “keluarga” bersifat heterogen; dan di dalam masing-masing (sub-)budaya itu sendiri terdapat pula determinan perbedaan lainnya yang tidak kalah penting, misalnya saja sosio-ekonomis. Akan tetapi, diluar varian tersebut, dapat digagas pula bahwa sebuah keluarga biasanya tersusun dari orang-orang yang berhubungan darah dan/atau berkawin, meskipun tidak selalu. Saling berbagi atap(-rumah), meja makan, makanan, uang, bahkan emosi, dapat menjadi faktor untuk mendefenisiskan sekelompok orang sebagai suatu keluarga.
Kedua, adalah berlimpahnya konsep teoritik yang dianggap (tidak) mampu menjelaskan atau mengkritik peran keluarga di tengah-tengah masyarakat. Orientasi yang mungkin paling dominan dipegang oleh pandangan fungsional yang memperlakukan keluarga sebagai salah satu komponen terpenting dari sistem sosial, yang turut mendukung atau mempertahankan keseimbangan di tengah masyarakat. Dalam hal ini, fungsi utama keluarga adalah untuk menjadi model bagi relasi-relasi kekuasaan di dalam masyarakat yang lebih luas. Perspektif lainnya adalah perspektif Marxis yang lebih melihat keluarga melalui fungsinya untuk melayani kepentingan pemegang kekuasaan ekonomis di dalam masyarakat. Di sini keluarga dipandang sebagai sistem yang memproduksi struktur dominasi yang ada dalam dunia ekonomi.
Akhirnya, dengan dibangkitkannya persoalan patriarki oleh para feminis, persepektif-perspektif tadi memperoleh semacam suplemen. Banyak feminis yang menganggap patriarki sebagai masalah yang secara serius dapat diangkat untuk menjelaskan kondisi-kondisi kehidupan di antara kedua jenis kelamin di dalam keluarga. Pada dasarnya, kelompok feminis ini memandang keluarga sebagai suatu institusi yang melalui sistem patriarkalnya, menindas perempuan dengan cara-cara sosialisasi yang terbedakan menurut gender.
Namun, di balik segala kemajemukan perspektif teori tersebut, yang tetap tertanam adalah sebuah citra konvensional yang secara spontan biasanya langsung membayang ketika istilah “keluarga” diucapkan, yakni keluarga monogami dengan sepasang orang tua heteroseksual bersama dengan anak-anaknya. Inilah yang pada dasarnya di dalam banyak literatur antropologi/sosiologi disebut sebagai keluarga inti atau konjugal.

Famulus/Kulawarga
Di dalam bahasa Latin, familia atau famulus memang tidak saja bermakna “keluarga;rumah-tangga”, tetapi juga servant; atau familia/famulus dapat berarti “semua yang berada di bawah kekuasaan seorang tuan(-rumah), penguasa, atau majikan”. Sementara itu, pada masyarakat Jawa mengenalnya sebagai kulawarga yang bermakna “saudara” atau “warga sedarah/saudara”. Konsep yang tampak egaliter ini bisa saja berubah seratus delapan puluh derajat apabila diplesetkan sedikit menjadi kawulawarga yang sama halnya dengan familia/famulus, yang bersifat hirearki.
Yang lebih mendekati pengertian “keluarga inti” adalah somah. Namun demikian, somah, sebagai kelompok kekerabatan yang pokok di dalam masyarakat Jawa, sering pula dianggap sebagai rumah tangga. Pada umumnya, “sebuah rumah tangga” adalah sama dengan “sekelompok orang yang tinggal di dalam sebuah rumah”, dimana dalam satu rumah dapat ditinggali oleh dua rumah tangga atau lebih. Yang menjadi ciri distingtifnya adalah bahwa satu rumah tangga, satu somah, lebih didefenisikan oleh apakah sekelompok orang makan dari satu dapur atau tidak. Sebab rumah tangga merupakan sekelompok orang yang tinggal bersama, saling berbagi dapur dan makanan.
Rumah tangga, sebagai sebuah metafora, barangkali bisa lebih mengkonkretkan “keluarga” sebagai semata-mata relasi. Konotasi rumah tangga memang lebih bersifat keruangan (spasial), dimana di dalamnya terdapat jenjang-jenjang yang hirearkis. Ruang(-ruang) domestik, terutama ruang makan dan dapur, yang merupakan basis bagi keberadaan rumah tangga, berada di bawah kendali perempuan.

Ruang(-ruang) Domestik
Ruang(-ruang) domestik terutama didefenisikan menurut fungsinya. Oleh karena itu dalam pengklasifikasiannya menurut fungsinya ruang-ruang di dalam rumah terbagi atas lima bagian seperti, (1) ruang untuk duduk(-duduk), seperti ruang tamu, ruang duduk, ruang keluarga, serambi, teras, dan balkon; (2) ruang untuk tidur, yang terbagi atas tiga subtipe yang terstrasifikasi, yakni kamar tidur utama, kamar tidur anak, kamar tidur pembantu; (3) ruang untuk makan/masak, seperti dapur dan ruang makan; (4) ruang untuk bersih-bersih diri; (5) ruang lain-lain.
Adapun semacam asumsi bahwa ruang(-ruang) domestik lebih cenderung diporsikan sebagai wilayah perempuan. Dengan mudah asumsi ini mendapat pembenaran atau sanggahan, tergantung pada keperluannya. Sebagian ruang tersebut memiliki konotasi gender yang kuat, misalnya dapur dan garasi. Dapur merupakan ruangan untuk mengolah dan mempersiapkan makanan, yang sangat kuat asosiasinya dengan aktivitas feminim; sementara garasi merupakan ruangan untuk menyimpan kendaraan, yang sangat kuat asosiasinya dengan aktivitas maskulin. Dengan demikian, selain didefenisikan melalui fungsinya, ruang(-ruang) domestik pun cenderung diasosiasikan dengan anggota keluarga tertentu, khususnya ibu dan ayah.
Ruang yang sepintas tampak netral gender adalah ruang untuk duduk(-duduk). Namun, terdapat ruang-ruang yang memiliki peran penting dalam perbincangan gender yakni ruang tamu. Menurut Passikoff dan Holman, ruang tamu merupakan ruangan khusus untuk ayah. Selain sebagai tempat untuk menerima tamu (yang datang dari luar rumah), ruang tamu juga digunakan ayah untuk melakukan aktivitasnya baik itu membaca koran, atapun memberikan nasehat kepada anaknya. Dibandingkan dengan ruang-ruang domestik yang lain, ruang tamulah yang berhubungan paling dekat dengan ruang publik sehingga tidak mengherankan apabila ayah lebih banyak mengisi aktivitasnya di ruang tersebut. Kehidupan di dalam rumah dan kehidupan jalanan, sebagai dua dunia yang terpisah, dihubungkan oleh sebuah ruang “ambang” dengan ayah sebagai figur perantaranya.
Meskipun ruang untuk duduk(-duduk) merupakan ruang yang paling banyak variasi dan namanya, ruang tersebut adalah paling tidak esensial dalam hubungannya dengan bagaimana anggota keluarga dapat survive secara fisik. Bandingkan, misalnya, dengan ruang makan atau dapur yang apabila dilihat dari sudut survival, pasti lebih utama. Kedua ruang yang disebut terakhir ini memiliki konotasi gender yang telah sangat baku. Khususnya dapur, ruang ini merupakan ruang bagi ibu yang menjadi lokasi untuk menyediakan makanan.

Representasi
Ibu dan keluarga merupakan sasaran empuk bagi iklan-iklan barang konsumsi tertentu. Mulai dari produk-produk perawatan bayi, makanan, sabun, obat-obatan, vitamin, sampai dengan mobil. Dengan berubahnya keluarga dari semata-mata sebuah unit produksi menjadi unit konsumsi, iklan-iklan semakin leluasa mereka-reka citra tentang keluarga ideal demi kepentingannya sendiri. Dan citra ini tidak beranjak dari stereotip kultural mengenai peran ibu dan ayah yang konvensional.
Di dalam representasi iklan nyaris tidak terdapat satu keluarga tanpa kehadiran seorang ibu. Iklan obat-obatan untuk anak menampilkan ibu dan anaknya dengan latar kamar tidur. Iklan sabun dimana di tampilkan ibu dengan anaknya dengan latar kamar mandi. Iklan bumbu dapur dan minyak goreng merepresentasikan seorang ibu sedang menyiapkan makanan di meja makan atau memasak di dapur. Hal terakhir ini nampak jelas ibulah spesialisnya: makanan dikaitkan dengan peran ibu di dalam keluarga. Bahkan, menurut Siegel, menyantap makanan bukan hanya mengindikasikan ketidakberdayaan dalam menahan nafsu, tetapi juga sekaligus mengindikasikan bahwa ibu berperan sebagai sumber dari nafsu dan kenikmatan karena produk tersebut berasal darinya.
Selain ibu yang memiliki peran dalam rumah tangga, ayah juga memiliki peran yakni sebagai wakil dari luar rumah; dia merupakan wakil tunggal keluarga terhadap dunia sosial di luarnya. Di dalam representasi iklan, ayah baru akan muncul ketika latarnya adalah ruang tamu atau teras, yang terlihat sedang membaca, bersantai, atau baru pulan dari kantor.
Ayah secara fisik memang boleh mangkir dari dalam rumah. Akan tetapi, sesungguhnya hal ini tidak berarti bahwa ayah sama sekali tidak hadir di dalam ruang-ruang kelurga tersebut, malahan sebaliknya, ayah justru bisa berada di mana-mana. Bila ayah secara badaniah tidak tampak dalam potret keluarga dalam struktur rumah tangga, peran ayah lebih cenderung sebagai seorang pemberi tugas dan ibu sebagai pelaksana.

Suplemen
Selama ini telah terbentuk semacam opini bahwa perempuan lebih berperan dominan di dalam rumah tangga. Kiprah perempuan di sektor domestik sudah sangat dimaklumi karena kata orang, “Memang sudah demikian dititahkan. “Ungkapan klisenya: perempuan adalah “ratu rumah tangga”. Maka dari itu, tidak mengherankan jika ada pihak-pihak tertentu yang kemudian berkesimpulan bahwa perempuan, sebagai istri atau ibu, merupakan pusat keluarga, pusat rumah tangga. Masyarakat dibayangkan sebagai struktur yang tersusun oleh unsur-unsur yang berupa keluarga-keluarga. Dengan kata lain, keluarga merupakan satuan-satuan sosial yang lebih kecil yang membangun dunia sosial. Sementara itu, rumah tangga, yakni keluarga beserta dengan konteks internalnya, seringkali didefenisikan keberadaannya via dapur. Dimana dapur merupakan tempat bercokolnya seorang perempuan sebagai pusatnya.
(Tulisan Ini diReview dr tulisan____dalam Buku Sangkan Paran Gender, dimana Irwan Abdullah sebagai editor. Reviewer: Sandry, Mimin, Ikbal, Syam, Yasser dan Pangeran)

Senin, 16 Februari 2009

Wanita dan Akar Kultural Ketimpangan Gender

Perempuan dan laki-laki selayaknya mempunyai kedudukan yang seimbang, namun hal tersebut tidak terlihat pada artikel ini. Uraian yang ditampilkan menceritakan tentang sejumlah kasus pekerja perempuan yang kadang-kadang mendapat berbagai bentuk penindasan. Sayangnya yang menjadi pelaku dari penindasan tersebut beberapa diantaranya adalah laki-laki. Padahal keinginan mereka untuk bekerja merupakan bentuk bantuan nyata untuk membantu keluarga. Dimana dalam keluarga umumnya yang lazim untuk mencari nafkah dan pemimpin dalam keluarga tersebut adalah laki-laki. Sungguh menjadi suatu hal yang sangat menyedihkan, sebab secara tidak langsung kaum yang hendak dibantu justru berbalik mencelakai. Tidak hanya itu, perempuan juga diserahi tanggung jawab yang tidak mudah. Sementara laki-laki yang memiliki kewajiban untuk mencari nafkah merasa tidak ada kewajiban lain yang harus dipikirkan. Perasaan seperti itu semakin kuat karena seolah mendapat dukungan penuh dari lingkungan sosial tempat dibesarkannya dan lingkungan-lingkungan lain yang ada disekitarnya. Semua itu turut berperan dalam perkembangannya dan pada akhirnya menjadi semacam aturan tetapi tidak dalam bentuk yang tertulis namun mendapat persetujuan dari masyarakat dalam lingkungan sosial tersebut.
Posisi perempuan sungguh menyulitkan dan serba salah serta berbagai hal mengenai ketidakadilan yang dialami oleh perempuan dalam kehidupan hampir disemua bidang dipaparkan dengan seksama dalam tulisan Susi. Segala bentuk ketidakadilan tersebut tergambar mulai dari ruang lingkup sosial dalam hal ini pekerjaan sampai pada posisi perempuan dalam sebuah kebudayaan yang berlaku pada masyarakat tertentu. Sedangkan laki-laki dengan segala bentuk kebijaksanaan dan kekuasaan yang diberikan kepadanya kadang kala justru mempergunakannya dengan tidak sebagaimana mestinya. Sebenarnya marginalisasi yang terjadi pada nasib perempuan tidak hanya sampai disitu, tetapi masih banyak yang lainnya. Namun tidak dapat dipungkiri jika kedudukan perempuan yang selalu menjadi subordinat tampak sangat mencolok pada kedua bidang yang diuraikan dalam tulisan tersebut. Apalagi semua contoh kasus yang dipaparkan oleh penulisnya memang marak terjadi dan sering dipublikasikan oleh media massa. Kemudian dari beberapa contoh kasus yang dituliskan, perempuan seringkali mendapat penganiayaan baik dalam bentuk kekerasan fisik maupun pelecehan seksual bahkan termasuk dalam aturan dan nilai yang berlaku dimana perempuan harus taat pada norma sosial yang kesannnya sangat mengikat.
Menurut pendapat saya, memang sangat ironis ketika insan yang berlabel perempuan harus mengalami ketidakadilan dalam setiap kegiatan. Padahal jika dibandingkan dengan kenyataan yang banyak terlihat dewasa ini, tidak sedikit jumlah perempuan yang memiliki kreativitas. Namun tetap saja nasib perempuan tidak bisa mengalami perubahan yang signifikan. Emansipasi wanita pernah diteriakkan beberapa tahun lalu bahwa perempuan berhak mendapat kesempatan yang sama dengan laki-laki dalam hal pekerjaan. Sehingga pada saat itu ruang lingkup perempuan diharapkan tidak lagi hanya berada di wilayah domestik tetapi juga dapat berkembang ke wilayah publik. Meskipun telah banyak perempuan yang merambah dunia kerja tetapi hal tersebut hanyalah menambah beban perempuan yang sudah cukup banyak karena memiliki kewajiban baru. Seperti yang dituliskan Susi bahwa perempuan dikalangan kelas menengah ke bawah, bekerja sambil mengurus rumah tangga sudah merupakan hal yang wajar sejak lama. Namun tidak demikian bagi kalangan kelas menengah ke atas, mereka justru dapat merasakan dunia publik. Hal inilah yang dianggap sebagai kewajiban baru dan harus ditanggung oleh perempuan. Ketidakadilan yang sekali lagi menimpa perempuan dengan peran ganda adalah segala bentuk kekurangan dalam rumah tangga dan penyimpangan yang terjadi pada anak dianggap sebagai kesalahan yang akan ditujukan pada perempuan.
Tulisan yang dibuat oleh Susi merupakan salah satu dari sekian banyak tulisan yang membahas mengenai ketimpangan yang dirasakan perempuan dan terjadi dalam kehidupan sosial budaya. Artikel tersebut benar-benar membahas mengenai ketidakseimbangan antara perempuan dan laki-laki. Melalui artikel tersebut pula kita dapat melihat perempuan yang begitu banyak memiliki sumbangsih dalam kehidupan rumah tangga justru sering mendapat perlakuan yang tidak sepantasnya. Senantiasa menjadi pengikut laki-laki dan berbagai aturan, norma dan nilai-nilai dalam budaya yang berlaku pada perempuan sudah sangat kental dan mendarah daging dalam kehidupan sosial budaya masyarakat. Sehingga banyaknya kompetensi yang dimiliki dan kreativitas yang berusaha dilahirkan oleh perempuan pada akhirnya tidak akan membawa banyak perubahan terhadap kedudukannya di wilayah publik.

(Wanita dan Akar Kultural Ketimpangan Gender merupakan judul dari goresan tangan yang dibuat oleh Susi Eja Yuarsi. Dimana tulisan Susi tersebut terdapat dalam buku Sangkan Paran Gender (Irwan Abdullah:editor). Tulisan ini sendiri merupakan tugas review mata kuliah Gender dan Antropologi pada bulan Desember 2008. Reviewer: Yulidar Nalurita)

Kamis, 12 Februari 2009

Pengetahuan, Perilaku Seksual Suku Marind-Anim A. E. Dumatubun

Review

Sub disiplin Antropologi Kesehatan boleh dikatakan relatif muda jika dibandingkan dengan usia disiplin Antropologi itu sendiri, namun sejak munculnya spesialisme ini hingga sekarang telah dikembangkan sejumlah model analisis untuk mengkaji fenomena kesehatan. Sejak awal tujuan utama dari sub disiplin ini ialah mengembangkan pemahaman fenomena kesehatan dalam rangka kebudayaan tertentu, artinya apa makna serta fungsi kesehatan sebagai salah satu aspek budaya yang membentuk suatu kebudayaan. Hal ini lah yang mendorong penulis untuk melakukan penelitian dan mendeskripsikannya dalam sebuah laporan, dengan mengambil salah satu suku bangsa di Papua yakni suku Marind-Anim sebagai lokasi penelitian.
Meskipun dimaksudkan sebagai sebuah laporan, akan tetapi penulis cukup detail dalam menguraikan bagaimana berbagai pendekatan, metode, dan konsep-konsep antropologi yang pernah digunakan untuk menganalisa dan memahami makna serta fungsi kesehatan sebagai salah satu aspek budaya yang membentuk kebudayaan di wilayah ini. Tulisan A. E. Dumatubun secara sistematis merunut mulai dari penjelasan konsep, kemudian penjelasan model-model analisis yang digunakan untuk mengkaji fenomena kesehatan khususnya seksualitas serta, pemaparan hasil karya para ahli antropologi serta, penjelasan mengenai pengetahuan dan perilaku seksualitas pada suku Marind-Anim.
Pemaparan dalam Point B laporan ini, misalnya, konsep-konsep dasar serta model-model analisis diulas. Konsep seksualitas berdasarkan analisis Scholar, dan studi oleh Clellan S. Ford and Frank A. Beach (1951) dalam Pattern of Sexual Behavior, dimana suatu variasi yang luas dalam bentuk-bentuk seksual terdapat dalam budaya. Konsep lainnya yang digunakan ialah Ideasionalisme (Keesing, 1981; Sathe, 1985). A. E Dumatubun dalam point ini tidak hanya menjelaskan konsep dasar namun juga menjelaskan model analisis, seperti pendekatan kebudayaan dan pendekatan struktural-fungsional.
Gambaran mengenai kasus-kasus seksualitas di Papua dibahas pada point C. Pada bagian ini dibahas hasil karya dari antropolog yang membuat kajian tentang kesehatan khususnya seksualitas. Kajian mereka terutama terpusat pada masyarakat pedesaan, seperti karya Williams, Francis E. (1924) mengenai kaitan antara persetubuhan sebelum nikah dengan upacara ritual pada masyarakat Purari, Landtman, Gunnar (1927) mengenai gambaran hubungan seks lebih banyak mengarah pada aktivitas kebudayaan pada orang Kiwai. Persetubuhan dengan siapa saja untuk menghasilkan cairan seks (sperma) guna meningkatkan kesuburan, serta upacara persetubuhan yang dilakukan oleh pasangan suami istri yang tua dengan tujuan untuk menghasilkan cairan seks guna perluasan spiritual. Selain kedua karya tersebut, A. E. Dumatubun juga memparkarkan karya-karya lain seperti karya dari Jan van Ball (1966), Laurent M. Serpenti (1968) serta beberapa tokoh Antropolog. Pemaparan karya-karya tersebut, pada intinya mengungkapkan bahwa perilaku seksual di Papua, khususnya pada suku-suku, selalu berkaitan dan juga membentuk kebudayaan. Dimana perilaku seksualitas tersebut jika dilihat dengan menggunakan kacamata medis, hal tersebut adalah salah namun jika menggunakan frame Antropologi yang didalamnya terdapat konsep relativisme kebudayaan, dengan menganggap bahwa suatu kebudayaan tidak dapat dinilai dengan menggunakan kebudayaan lain. Meskipun kebudayaan tersebut dianggap salah.
Tentang perilaku seksualitas pada suku Marind-Anim dipaparkan dalam Bab IV. Pada bagian ini penulis menjelaskan pola perilaku seksual orang Marind-Anim pada ritual-ritual tertentu, seperti pada ritual Mite Ndiwa, dimanana inti dari ritual ini adalah masa inisiasi dari remaja menjadi masyarakat, membawa keseimbangan serta mengadakan hubungan dengan leluhur. Upacara Bambu Pemali (Barawa), Upacara Subawakum, Upacara Kambara, Upacara Ezam Uzum, Upacara Perkawinan. Upacara-upacara tersebut, hampir memiliki kesamaan karena alat ritual yang paling inti ialah cairan seks (sperma). Namun, jika dilihat dari segi medis, penggunaan serta cara untuk memperoleh sperma dalam upacara-upacara tersebut rentan dengan penyakit, terutama penyakit HIV/AIDS. Karena penggunaan yang salah, yakni terdapat upacara ritual dimana seorang pria bebas melakukan hubungan seksual dan cairan sperma yang dikeluarkan kemudian diminum. Selain penggunaan yang salah, terdapat cara-cara untuk memperoleh sperma yang keliru untuk digunakan dalam melaksanakan upacara-upacara tertentu. Seperti upacara Ezam Ezum, dimana kepala adat untuk memperoleh sperma harus melakukan hubungan dengan ibu-ibu janda sebanyak tiga sampai lima kali.

(Review ini merupakan tugas mata kuliah Etnografi Indonesia pada tanggal 19 Mei 2008 oleh Sandry Marrung, Mahasiswa Strata Satu Antropologi Sosial FISIP UH)

Senin, 09 Februari 2009

Fungsi dan Struktur Sosial

FUNGSI SOSIAL
Dapat dikatakan asumsi mengenai cara kerja Antropologi adalah Etnografi, dengan melukiskan kebudayaan suatu suku bangsa. Apa yang terdapat didalamnya adalah hubungan berintegrasi antar aspek-aspek kebudayaan meskipun hanya terdapat satu aspek yang menjadi fokus, misalnya ekonomi atau religi. Itulah merupakan bahan mentah. Kemudian diabstraksikan, dianalisis lebih lanjut maka menghasilkan tiga tingkat abstraksi mengenai fungsi sosial.
Tingkat abstraksi pertama adalah fungsi sosial dari suatu adat, pranata sosial atau unsur kebudayaan mengenai pengaruh atau efeknya terhadap adat, tingkah laku dan pranata sosial yang lain dalam masyarakat. Maksud dari tingkat abstraksi pertama ini adalah kembali kepada apa yang dianjurkan Malinowski yakni penulisan etnografi secara berintegrasi, bagaimana seni berhubungan dengan religi. Misalnya sarung Sutra Mandar yang merupakan salah satu bentuk karya seni dari kebudayaan Mandar, merupakan lambang yang dianggap suci dan pelengkap upacara ritual dalam kehidupan masyarakat, seperti upacara pelantikan pejabat, penjeputan tamu, kelahiran, perkawinan, sunatan hingga pada upacara kematian. Disisi lain, keunikan motif menyebabkan sarung Sutra Mandar bernilai ekonomis dan usaha penenunan sarung Sutra juga merupakan salah satu sumber mata pencaharian masyrakat Mandar. Juga dari aspek sosial, secara umum digambarkan bahwa kepandaian menenun sarung dilakukan oleh kaum wanita, kemampuan seorang wanita menenun menggambarkan kesabaran, ketekunan, keuletan, hal ini dianggap sesuatu yang membanggakan. Sehingga satu aspek saja yang dilihat yakni seni, juga mengandung unsur-unsur lainnya. Inilah yang dimaksud dalam abstraksi tingkat pertama.
Tingkat abstraksi kedua ialah fungsi sosial dari sudut adat, pranata sosial atau unsur kebudayaan mengenai pengaruh atau efeknya terhadap kebutuhan suatu adat atau pranata lain untuk mencapai maksudnya, seperti yang dikonsepsikan masyarakat yang bersangkutan. Atau pemahaman suatu institusi di dalam konsep-konsep atau istilah-istilah sepeeti dibatasi oleh anggota suatu masyarakat. Contohnya sekarang terdapat pranata-pranata buatan manusia seperti Arisan (pranata sosial), kemudian pengajian (pranata agama), kalau koperasi itu lebih bersifat sosial karena tolong-menolong, sedangkan ekonomi itu yang mau mendapatkan keuntungan, misalnya industri (pranata ekonomi). Masing-masing pranata tersebut saling membutuhkan untuk mensukseskan kegiatannya. Misalnya pranata arisan yang bertujuan untuk mendapatkan keuntungan dengan usaha kecil, kemudian pengajian supaya agama dan keyakinan bertambah mantap, sedangkan usaha industri agar supaya produk tertentu produktifitasnya dapat meningkat dan laku. Kemudian orang melakukan arisan. Di dalam arisan itu terdapat pengajian supaya orang yang datang arisan dapat belajar agama. Kemudian di situ juga diadakan demo produk industri. Dan disitu sangat disadari dibutuhkan seperti yang dikonsepsikan atau diinginkan.
Tingkat abstraksi ketiga ialah fungsi sosial dari suatu adat atau pranata sosial mengenai pengaruh atau efeknya terhadap kebutuhan mutlak untuk berlangsungnya secara berintegrasi dari suatu sistem sosial yang tertentu. Contohnya, arisan melibatkan sosial, agama berkenaan dengan keyakinan, ekonmi yang membutuihkan pendapatan atau keuntungan, kesemuanya ini sesungguhnya dimaksudkan untuk mencapai suatu kemantapan tatanan sosial atau kestabilan sosial. Artinya kebutuhan akan religi, ekonomi dan semua institusi direduksi untuk sosial.

STRUKTUR SOSIAL
Dalam Antropologi terdapat beberapa macam teori Struktural, namun konsep ini pertama kali diajukan oleh seorang ahli berkebangsaan Inggris, yakni A.R.Radclife Brown. Meskipun konsep ini sering digunakan dalam tulisannya, penjelasan secara jelas dan ringkas diberikan dalam pidato pengukuhan sebagai ketua lembaga Antropologi “Royal Anthropological Institutue of Great Britain and Ireland” pada tahun 1939. dalam pidatonya dia menerangkan bahwa teori struktural terdiri dari 11 tese. Namun tese pertama hingga keempat sama dengan ketiga tingkat abstraksi milik Malinowski. Dalam keempat tese pertama itu, Brown ingin menerapkan metode ilmu alam untuk mengkaji sosial-budaya. Dia ingin menyamakan masyarakat memiliki unsur-unsur. Menurutnya masyarakat memiliki unsur-unsur karena dia adalah struktur seperti organisme dan dia mirip dengan alam.
Dalam tese kelimanya, Brown sampai pada inti teorinya dengan mengatakan bahwa struktur sosial merupakan total dari jaringan hubungan antar individu atau person-person dan kelompok-kelompok person. Dimensinya ada dua, yaitu hubungan diadik-hubungan antar pihak pertama (person) dan pihak kedua (kelompok), dan juga diferensial antar satu pihak dengan beberapa pihak yang berbeda-beda, atau sebaliknya.”Bentuk dari struktur sosial” adalah tetap, dan jika berubah, proses itu biasnya berjalan lambat. Sedangkan “realitas struktur sosial” atau wujud dari struktur sosial, yaitu person-person atau kelompok-kelompok yang ada didalamnya selalu berubah atau berganti. Tentunya ada beberapa peristiwa yang dapat juga membentuk dari struktur sosial itu mendadak berubah, seperti peristiwa perang atau revolusi.
Sebagai contoh keluarga. Keluarga merupakan satu organisasi atau lembaga yang memiliki seorang ayah, seorang ibu dan beberapa anak, yang merupakan unsusr-unsur dari keluarga inti. Unsur tersebut jika disatukan akan memebentuk suatu organisasi dengan sebuah struktur kelurga inti. Yang dimaksud struktur dalam struktur sosial adalah keseluruhan jaringan, atau hubungan antara ketiga unsur keluarga tersebut. Jaringan dapat dilihat lewat pranata dan aturan. Aturan itu menggariskan status dan peran tiap anggota keluarga. Misalnya, anak harus membantu orang tua, belajar, dsb. Atau pada saat anak bertemu dengan orang tuanya, apakah dia tunduk kemudian berbicara atausambil melihat wajahnya. Kemudian bagaiman berhubungan dengan ibunya, tentunya berlainan berdasarkan kebudayaan masing-masing orang.

Kurikulum Baru Antro FISIP UH

Sekarang di Jurusan Antropologi FISIP UH mulai terbagi dalam tiga konsentrasi, yaitu
pertama: Konsentrasi Kebudayaan dan Pembangunan
kedua: Konsentrasi Kebudayaan dan Kebaharian
ketiga: Konsentrasi Kebudayaan dan Ekonomi
Kebijakan ini mulai diberlakukan pada tahun ajaran 2008/2009, namun angkatan yang paling awal melaksanakannya adalah dua angkatan sebelumnya yaitu angkatan 2006.

USAHA IKAN HIDUP DI PULAU SAUGI, PANGKEP

A. SEJARAH USAHA IKAN HIDUP
Sejak tahun 80-an usaha ikan hidup belum berkembang secara pesat, ditandai dengan kurangnya jumlah perahu motor kecil dan jumlah nelayan pemancing yang masih sedikit. Hal ini dikarenakan masih sedikitnya permintaan di pasar. Namun memasuki tahun 90-an, permintaan ikan hidup (jenis-jenis sunu, kerapu, Napoleon/Langkoe) di pasar ekspor (Singapura, Hongkong, Taiwan, Thailand) semakin meningkat sehingga jumlah perahu motor kecil (5-10 PK) yang masuk ke desa-desa nelayan mulai bertambah, terutama desa-desa penggarap sumber daya kawasan karang. Hal inilah yang membuat sebagian besar nelayan pulau dalam kawasan Spermonde (selat Makassar), beralih dari menangkap berbagai spesies hasil laut ke usaha/aktifitas menangkap ikan dan lobster hidup di lokasi karang (dalam bahasa lokal disebut Taka-Taka). Membaiknya kondisi harga dan relatif kecilnya investasi dalam usaha ikan hidup tersebut, yaitu bervariasi dari 5-15 juta rupiah per unit usaha (mencakup komponen : perahu kecil, motor kecil, pancing), mendorong para nelayan yang sebelumnya aktif dalam kelompok-kelompok besar dengan status sebagai sawi kemudian pecah kedalam kelompok-kelompok kecil yang berarti terjadi peningkatan jumlah unit usaha baru bahkan sebagian besar nelayan berani menanggung resiko untuk menjadi pemilik dan aktif secara perorangan.
Pulau Saugi yang merupakan bagian dari kawasan Spermonde, meskipun mayoritas penduduknya bekerja sebagai nelayan kepiting, tapi juga terdapat usaha ikan hidup. Hanya saja, mayoritas nelayan merasa lebih banyak memperoleh keuntungan dari usaha kepiting dan udang. Selain itu, faktor ekologi juga menjadi salah satu pengaruhnya. Dimana lokasi penangkapan jenis-jenis ikan hidup semakin jauh, sedangkan peralatan yang dimiliki tidak memungkinkan nelayan untuk melaut terlalu jauh dari sekitar pulau.

B. LOKASI PENANGKAPAN
Lokasi-lokasi dimana nelayan pemancing ikan hidup (jenis Sunu, Kerapu, Napoleon) beroperasi adalah di sekitar perairan pulau Saugi dan perairan pulau-pulau sekitar pulau Saugi. Lokasi-lokasi tersebut merupakan daerah karang yang oleh nelayan disebut dengan Taka. Taka yang merupakan lokasi penangkapan ikan hidup (jenis Sunu, Kerapu, Napoleon), menurut nama yang diberikan nelayan adalah:
1. Siborong ( disekitar Pulau Saugi dan Pulau Sapuli)
2. Ambong (disekitar Pulau Satando dan Pulau Bangko-Bangkoang)
3. Endea (disekitar Pulau Saugi dan Pulau Satando)
4. Empang (disekitar Pulau Sagara dan Pulau Sabangko)
Selain beroperasi di lokasi tersebut, nelayan pemancing biasa juga beroperasi di sekitar daerah gusung, seperti:
1. Gusung Lompoa (disekitar Pulau Camba-Camba dan Pulau Satando)
2. Gusung Pamarrung (sebelah utara Pulau Saugi)
3. Gusung Kuritayya (disekitar Pulau Samatallu)
4. Gusung Mawarayya (bagian barat Pabrik Semen Tonasa)
5. Gusung Toriaja (bagian barat Pulau Sakuala)
6. Gusung Ca’di (bagian barat Pulau Sakuala)
Nelayan pemancing biasanya mulai beroperasi sekitar pukul 18.00 hingga dini hari. Dalam beroperasi nelayan pemancing menggunakan alat tangkap yaitu pancing rawe. Pancing rawe adalah pancing yang cara penggunaannya di bentangkan disekitar taka atau gusung, yang memiliki kurang lebih 100 mata kail. Mata kail yang digunakan adalah mata kail no 8. Selain pancing rawe, alat tangkap yang biasanya digunakan oleh nelayan pemancing adalah pancing kedo-kedo (digunakan oleh nelayan pemancing dari Pulau Kapoposan).

C. STRATEGI USAHA IKAN HIDUP
Dalam menjalankan suatu usaha, terdapat strategi-strategi yang digunakan demi kelancaran usaha tersebut. Seperti halnya pada usaha ikan hidup, terdapat beberapa hal yang diperhatikan, yang pertama mengenai organisasi kerja dimana di dalamnya terdapat pihak-pihak yang terlibat dalam usaha tersebut. Hal lainnya adalah pemeliharaan dan perawatan ikan hidup yang hampir kesemuanya dilakukan oleh pemilik karamba.



1. ORGANISASI KERJA
Di pulau Saugi, dimana terdapat komuniti-komuniti nelayan dikenal kelompok-kelompok punggawa-sawi, yang menurut keterangan dari informan dari setiap desa nelayan yang ada Sulawesi Selatan dan di pulau Saugi pada khususnya, hal tersebut telah ada dan bertahan sejak ratusan tahun. Struktur inti/elementer kelompok organisasi ini ialah ponggawa laut/juragan dan sawi-sawi. Ponggawa berstatus pemimpin pelayaran dan aktifitas produksi dan berbagai pemilik alat-alat produksi. Mereka memiliki pengetahuan kelautan, pengetahuan dan keterampilan manejerial, sementara sawi hanya memiliki pengetahuan kelautan dan keterampilan kerja/produksi semata. Bentuk struktural lain terjadi ketika suatu usaha perikanan mengalami perkembangan jumlah unit perahu dan alat-alat produksi yang dikuasai oleh ponggawa laut/juragan tadi sebagai akibat dari pengaruh kapitalisme. Untuk mengembangkan mempertahankan eksistensi usaha, maka ponggawa laut/juragan tidak ikut lagi mengikuti pelayaran melainkan tetap tingggal di darat/pulau mengusahakan perolehan pinjaman modal dari pihak lain, mengurus biaya-biaya anggotanya yang beroperasi di laut dan lain-lain. Disinilah pada awalnya muncul satu status baru pada strata tertinggi dalam kelompok kerja nelayan yang disebut ponggawa darat. Untuk memimpin pelayaran dan aktifitas produksi di laut, ponggawa darat merekrut juragan-juragan baru menggantikan posisinya memimpin unit-unit usaha yang sedang berkembang/meningkat jumlahnya. Para juragan/ponggawa laut dalam proses dinamika ini sebagian lainnya masih berstatus pemilik, sedangkan sebagian lagi hanyalah berstatus pemimpin operasi kelompok nelayan. Para juragan yang merekrut sawi-sawi berbakat/potensial dikenal juga dengan istilah ponggawa caddi, sedangkan ponggawa besar disebut ponggawa lompo.
Pola hubungan (struktur sosial) menandai hubungan-hubungan dalam kelompok ponggawa-sawi baik dalam bentuknya elementer (ponggawa/juragan-sawi) maupun yang lebih kompleks (eksportir/bos-Ponggawa pulau-sawi) ialah hubungan patron-client: dari atas bersifat memberi servis ekonomi dan sosial, sedangkan dari bawah hubungan mengandung muatan moral dan modal sosial.


Dalam karakteristik fungsional pekerja yang berlaku pada Usaha Ikan Hidup, dikenal ponggawa dan sawi dengan pembagian peran sebagai berikut:
1. Eksportir/Bos di Makassar, bertugas membeli hasil tangkapan dari Poggawa karamba di Pulau kemudian mengekspor ke luar negeri.
2. Ponggawa pulau, bertugas membeli ikan dari nelayan pemancing.
3. Pabalolang, bertugas mengantar/mendistribusikan ikan dari Ponggawa Karamba di pulau kepada eksportir/Bos di Makassar.
4. Nelayan pemancing, bertugas menangkap/memancing ikan hidup di taka-taka atau gusung kemudian menjualnya ke Ponggawa Pulau.

2. PEMELIHARAAN DAN PERAWATAN IKAN HIDUP
Salah satu tahap kegiatan yang dilalui hasil laut/tangkapan khususnya ikan hidup sebelum dijual kepada eksportir yang berkedudukan di Makassar adalah pemeliharaan dan perawatan. Tahap ini sangat penting mengingat ikan hidup yang dibeli dari nelayan pemancing biasanya mengalami cacat ikan hidup yang dapat mempengaruhi harga saat didistribusikan serta resiko kematian, seperti ikan Kerapu yang cepat mati. Hal ini dapat menyebakan kerugian. Adapun tahap-tahap pemeliharaan dan perawatan ikan hidup sebelum didistribusikan ke Makassar:

a. Di Karamba
Untuk menghindari kerugian, seperti terdapat ikan lecet dan lemas yang dapat menyebakan kematian. Ikan hidup yang dibeli dari nelayan, tidak langsung didistribusikan ke Makassar. Sehingga terlebih dahulu dipelihara dan dirawat dalam karamba. Pemeliharaan biasanya dilakukan selama 3-5 hari, agar ikan kembali sehat. Dalam proses pemeliharaan dan perawatan, jika terdapat ikan yang lemas maka akan disuntikkan obat teramisin. Tidak hanya saat nelayan datang menjual ikan hidup, terdapat ikan yang cacat. Namun saat pemeliharaan dan perawatan ikan dalam karamba biasa juga mengalami cacat, dikarenakan jumlah ikan yang melebihi kapasitas daya tampung karamba sehingga ikan di dalamnya saling bergesekan. Hal ini seringkali terjadi saat musim barat. Selain pemeliharaan dan perawatan ikan hidup, kebersihan karamba juga selalu diperhatikan, karena apabila tidak diperhatikan kebersihannya, tiram-tiram akan menempel yang dapat menyebakan ikan lecet. Untuk itu biasanya karamba dibersihkan 3-5 bulan sekali.
Dalam proses pemeliharaan dan perawatan dalam karamba selain resiko cacat, kerugian lain yang biasa dialami ialah resiko kematian. Karena cacatnya terdapat dimata ikan yang tertusuk mata kail saat dipancing.
b. Di Jolloro’
Sama halnya dengan di karamba, saat akan dibawa ke Makassar juga ada pemeliharaan di jolloro’ agar ikan hidup tidak mengalami kecacatan dan atau kematian saat perjalanan. Di jolloro’ terdapat wadah yang memang khusus digunakan sebagai tempat penyimpanan ikan pada saat akan dibawa, wadah tersebut memiliki saluran air sehingga air dalam wadah tersebut dapat terganti dengan sendirinya. Kemudian jika dalam perjalanan terdapat ikan yang lemas, maka akan disuntikkan lagi teramisin. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah jumlah ikan yang akan dibawa harus sesuai dengan kapasitas wadah yang ada di jolloro’.

D. DISTRIBUSI DAN PEMANFAATAN HASIL
Proses distribusi dan pemanfaatan hasil merupakan bagian yang penting dalam usaha ikan hidup. Dimana hal-hal yang menjadi bagian dari proses tersebut antara lain jenis-jenis ikan yang menjadi tangkapan ikan hidup. Kemudian penentuan harga yang berdasarkan dengan jenis ikannya, setelah itu pendistribusian melalui jaringan pemasaran yang tidak hanya dipasarkan di dalam negeri tetapi juga di ekspor sampai ke luar negeri. Hal yang terakhir setelah penjualan dilakukan yaitu bagi hasil.

1. JENIS-JENIS IKAN
Dalam usaha ini tidak semua ikan dapat dijadikan sebagai hasil tangkapan untuk dijual, tetapi hanya jenis-jenis ikan tertentu. Adapun jenis-jenis ikan yang banyak diperjualbelikan di pasar ekspor, antara lain :
1. Ikan Sunu :
 Ikan Sunu Merah
 Ikan Sunu Bone
 Ikan Sunu Tikus
2. Ikan Kerapu :
 Ikan Kerapu Lumpur
 Ikan Kerapu Tiger
3. Napoleon
Selain jenis-jenis ikan diatas, terdapat juga beberapa jenis Lobster yang diperjualbelikan, seperti lobster bambu dan jenis lobster lainnya.
Sebelum permintaan pasar ekspor akan ikan hidup meningkat, penangkapan jenis-jenis ikan diatas oleh para nelayan jarang dilakukan. Hal ini disebabkan karena jarangnya permintaan konsumen, sehingga minimnya keuntungan yang diperoleh para nelayan.

2. PENENTUAN HARGA
Harga ikan hidup ( jenis Sunu, Kerapu dan Napoleon) di tingkat pengeksporan yang berkedudukan di Makassar (Cambayya, Paotere dan PPI Paotere serta Tanjung Bunga) tidak terdapat variasi harga, namun harga dipulau memiliki variasi. Variasi harga tersebut didasarkan pada proses pendistribusian ikan hidup ke Makassar. Adapun harga ikan hidup(jenis Sunu, Kerapu dan Napoleon) yang berlaku di Pulau Saugi saat penelitian ini dilakukan diperlihatkan pada Tabel. 1 dibawah ini:

Tabel. 1 Harga Ikan Hidup saat melakukan penelitian di Pulau saugi
Jenis Ikan Ukuran Harga Pulau Harga Makassar
1. Ikan Sunu Merah Baby (3 - 5 ons) Rp. 94.000 Rp. 100.000
Super (6 ons -1 kg) Rp. 244.000 Rp. 250.000
2. Ikan Sunu Bone Baby (3 - 5 ons) Rp. 44.000 Rp. 50.000
Super (6 ons – 1 kg) Rp. 96.000 Rp. 100.000
3. Ikan Sunu Tikus Baby (3 – 5 ons ) Rp. 144.000 Rp. 150.000
Super (6 ons – 1 kg) Rp. 294.000 Rp. 300.000
4. Ikan Kerapu Tiger Baby (3 – 5 ons) Rp. 19.000 Rp. 25.000
Super (6 ons – 1 kg) Rp. 40.000 Rp. 50.000
5. Ikan Kerapu Lumpur 3 ons – 2 kg Rp. 14.000 Rp. 20.000
6. Ikan Napoleon Baby (3 – 5 ons) Rp. 144.000 Rp. 150.000
Super (6 ons – 1 kg) Rp. 294.000 Rp. 300.000
7. Lobster Baby (3 – 5 ons) Rp. 144.000 Rp. 150.000
Super (6 – 8 ons) Rp. 164.000 Rp. 170.000

Harga di atas merupakan harga beli perusahaan ekpor di Makassar yang berbeda dengan harga ikan yang diberikan oleh para Ponggawa Karamba. Biasanya harga ikan yang diberikan kepada nelayan memiliki selisih harga Rp. 6.000 dari harga yang diberikan oleh eksportir di Makassar. Menurut Ponggawa Karamba, penentuan harga kepada nelayan disesuikan dengan biaya opersional dan kemungkinan terjadinya kerugian akibat penurunan harga dikarenakan Ikan mengalami cacat seperti cacat pada sirip, ekor dan perut ikan serta matinya ikan saat pendistribusian ke Makassar.
Harga ikan hidup (jenis Sunu, Kerapu dan Napoleon) relatif tetap dan lebih menguntungkan jika dibandingkan dengan harga ikan mati segar yang masuk ke Tempat Pelelangan Ikan (TPI), sehingga pengusaha ikan hidup di pulau memilih bertahan menjalankan usaha mereka walaupun turunnya harga ikan sulit untuk dihindari. Fluktuasi harga ikan hidup (jenis Sunu, Kerapu, Napoleon) terjadi secara periodik terutama menjelang pergantian tahun (Tahun Baru) dan menjelang hari raya Imlek.

3. JARINGAN PEMASARAN
Seperti yang diketahui bahwa masyarakat nelayan adalah masyarakat yang sepenuhnya bergantung kepada pasar, baik untuk keperluan penjualan hasil produksinya maupun untuk memperoleh berbagai kebutuhan hidupnya. Berikut strukutur jaringan pemasaran Ikan untuk jenis Ikan Hidup:








» Hasil tangkapan ikan yang diperoleh nelayan untuk pemasaran memiliki mekanisme seperti jaringan, dalam hal ini setiap nelayan yang telah mendapatkan hasil tangkapan biasanya dijual kepada ponggawa di pulau.
» Transaksi antara nelayan dan Ponggawa berlansung di Pulau.
» Hasil tangkapan yang telah dibeli Ponggawa Karamba, sebelum di bawa ke Makassar(eksportir) terlebih dahulu dirawat beberapa hari (3-5 hari).
» Setelah dirawat, ikan hidup kemudian dibawa ke ekportir seperti di Cambayya (pelabuhan Paotere), PPI Paotere dan Tanjung Bunga Makassar. Biasanya ikan hidup yang dibawa berkisar antara 20-30 kg.
» Ikan hidup yang telah di beli eksportir tidak langsung diekspor, melainkan dirawat selama 1-2 hari. Setelah perawatan, ikan kemudian siap untuk diekspor. Dalam proses pengeksporan, ikan tidak dikirim dalam keadaan hidup namun terlebih dahulu dibius dengan teramisin sesuai lama perjalanan, kemudian dikirim melalui pesawat. Selain diekpor ke luar negeri, ikan hidup juga dikirim ke restoran seafood di Bali. Jumlah ikan hidup yang diekspor berkisar antara 50-100 kg.
» Setelah tiba di Pasar Ekspor, ikan hidup lemas karena pengaruh bius. Agar kembali sehat, ikan hidup disuntik dengan teramisin. Kemudian dipasarkan ke restoran-restoran seafood.
Menurut Azis (1987) dalam konsep ekonomi, tingkat harga dan produksi optimum ditentukan oleh beberapa faktor seperti struktur biaya, penerimaan, dan bentuk pasar yang berlaku. Adapun keuntungan maksimum yang dihasilkan melalui tingkat produksi tersebut merupakan pencerminan, selisih antara penerimaan dan biaya rata-rata. Teori ekonomi juga menunjukkan bagaimana tingkat produksi optimum disesuaikan dengan dana yang tersedia dapat ditentukan melalui penggunaan kombinasi input atau teknologi tertentu, yang menghasilkan kondisi dimana rasio harga antara dua input mencapai nilai sama dengan rasio produk marginalnya.

4. BAGI HASIL
Dalam perikanan laut pada umumnya, baik yang modern mapun tradisional, diterapkan sistem aturan bagi hasil, sebaliknya hanya sebagian kecil di antara perikanan modern berskala besar yang kapitalistik menerapkan sistem pengupahan. Untuk perikanan tradisional berskala kecil, secara umum aturan bagi hasil menetapkan bahwa setiap anggotanya memperoleh satu bagian pendapatan dari jumlah keseluruhan pendapatan per aktifitas yang dilakukan. Dalam perikanan model Usaha Karamba/Usaha Ikan Hidup, pembagian hasil dilakukan setiap kali setelah pemasaran ikan dilakukan diluar biaya operasional, seperti bahan bakar. Namun, pembagian hasil bukan dilihat dari peran dan status, tetapi karena bantuan jasa transportasi dan tenaga saat memasarkan ikan ke Makassar.